Langsung ke konten utama

CERPEN : Dunia Belum Berakhir


Kamar gelap. Bau pengap. Rasa mau mati. Aku tak bisa bernapas lega acap kali mengingat betapa berantakannya hidupku. Aku, Reisha Mara, siswi yang selalu mendapat rangking pertama, tidak lulus ujian nasional. Bukankah itu sangat tidak masuk akal?

Aku tidak bisa menerima. Ini tidak adil. Pasti ada yang tidak beres. Pasti ada yang berbuat curang. Terlalu janggal dan aneh.

Namun, sebagaimana rumitnya aku berpikir, memang itulah yang terjadi padaku. Lucu, lucu yang benar-benar lucu sampai aku tak bisa tertawa. Membuatku kebingungan, bertanya-tanya kenapa dan kenapa. Apakah ada yang salah dalam diriku?

Setiap malam, setiap ada waktu dan kesempatan, aku selalu belajar. Aku sangat percaya diri dalam mengerjakan soal. Aku yakin apa yang kujawab adalah benar sehingga dalam angganku akan mendapat nilai yang memuaskan, yang bisa membuat orang tua bangga. Namaku akan dikenang dengan baik.

Akan tetapi, nyatanya, aku tidak lulus ujian nasional pada mata pelajaran bahasa Indonesia.

Yang benar saja! Apa ada kegilaan yang lebih dari itu?

Aku ingin tertawa sekaligus menangis. Bahkan, aku sempat pingsan begitu mengetahui kenyataan pahit itu. Dunia seakan runtuh di depan mataku.

Bukankah pelajaran bahasa Indonesia itu sangat mudah? Tidak perlu rumus yang rumit, perhitungan yang membuat otak berputar.

Aku stres!

Harusnya, nilai bahasa Indonesiaku sempurna karena aku orang Indonesia, lahir di negeri Indonesia.

Harusnya, kalaupun tidak mencapai nilai sempurna, nilai bahasa Indonesiaku lebih tinggi dari pelajaran yang lain meskipun hanya nol koma satu.

Harusnya, aku lulus, berbahagia bersama teman-teman, merayakan kelulusan, dan bukannya terpuruk di kamar yang tanpa cahaya ini. Kelam dan suram.

Namun, sekali lagi, kenapa aku tidak lulus dalam pelajaran itu? Apa ada yang salah dalam diriku?

Pikiranku blank, tidak bisa berpikir normal, tidak bisa berpikir jernih. Beberapa kali keinginan bunuh diri tercetus dalam benak. Hidupku seakan berhenti di tempat, tidak berarti lagi. Dada yang penuh sesak, rasa kecewa, sedih, marah, dan bingung yang tak berkesudahan dan tak kumengerti, ketakutan yang mendera. Rasanya ... aku ingin mati saja.

Aku menghindari publik, lebih suka menyendiri, dan diam. Aku takut keluar rumah. Orang-orang pasti menggunjingku, menatapku penuh kasihan yang pura-pura, lalu tertawa di belakangku. 

Motivasi dari teman yang datang berkunjung, orang tua, dan guru membuatku semakin tertekan.

Mereka tidak berada diposisiku, manalah tahu apa yang kurasakan? Mereka tidak berada diposisiku, jadi seenaknya bilang ini dan itu dengan harapan aku bisa kuat. Mereka tidak tahu. Tidak akan pernah tahu betapa kelamnya berada diposisiku sekarang.

Aku tidak kuat lagi. Kepalaku rasanya mau pecah. Aku ... ingin mati saja.

"Reisha! Reisha! Reisha!"

Itulah yang kudengar sebelum kegelapan menelanku akibat nadiku yang terpotong benda tajam.

Dalam kegelapan, bayang-bayang kertas ujian, nilai yang tak kuharapkan, impian yang memudar, harapan yang perlahan hilang, terus berputar tanpa jenuh.

Mereka menggangguku, padahal aku hanya ingin damai dalam kematian. Mengakhiri rasa sakit yang kurasakan.

Sayangnya, Tuhan tidak menyayangiku. Kematian yang sudah kurencanakan gagal.

Pertama membuka mata, yang kulihat hanya langit-langit berwarna putih, lampu neon putih, cat dinding putih, jam dinding yang terus berdetak, hidung yang mencium bau antiseptik, dan badan yang terasa kaku digerakkan.

"Reisha."

Itu adalah panggilan Mama. Dia mengelus keningku, menangis sambil menatapku.

Tak berapa lama, dokter dan suster datang. Mereka memeriksaku, menanyaiku beberapa hal yang kujawab dengan kebungkaman, lalu mereka berbicara kepada Mama. Aku tak begitu mendengarkan. Kutolehkan kepala menghadap jendela, menatap uap air yang kupikir dari hujan.

Setelah dokter dan suster pergi, Mama duduk di kursi samping ranjang. Dia bertanya tentang apa aku butuh sesuatu?

Aku hanya diam.

Akan tetapi, pikiranku tetap jalan.

Kenyataan bahwa aku harus menghadapi kehancuran hidupku sekali lagi, membuatku muak.

Tidak sanggup menahan beban yang akan terus kupikul, aku terisak-isak. Kupukul kepalaku beberapa kali. Mama menahan tanganku, mengucapkan kata-kata penghiburan yang membuatku tambah muak.

"Istigfar, Reisha, istigfar ...."

Aku kesetanan. Aku berontak. Mama memelukku sambil menangis.

"Masih ada ujian susulan. Kali ini Mama yakin kamu pasti lulus," kata Mama serak.

Aku tetap berontak.

"Aku ingin lulus, Ma. Aku ingin seperti teman-teman yang tertawa bahagia sambil memeluk orang tuanya. Aku ingin lulus, Ma, aku ingin lulus." Aku terisak hebat.

"Kamu pasti lulus, Nak," kata Mama.

Aku menjerit.

"Sayang, tolong ...," kata Mama memohon kepadaku, memelukku semakin erat.

"Mama sayang sama Reisha. Mama cinta sama Reisha," kata Mama lagi.

Perlahan aku mulai tenang. Meski begitu, otakku tetap panas. Pikiran negatif menggulung-gulung layaknya ombak, membuatku kewalahan dan ingin cepat mati saja.

"Kemarin Reisha sudah melakukan yang terbaik. Mama bangga sama Reisha. Mama bangga," ucap Mama sambil mengusap-usap punggungku.

Aku memeluk Mama erat. "Aku gagal, Ma. Aku anak yang nggak berguna. Nggak berharga. Bagaimana bisa Mama merasa bangga?"

"Reisha ... hanya karena kamu gagal pada ujian nasional bukan berarti Mama merasa nggak bangga terhadap kamu," jawab Mama sengau. "Mama bangga mempunyai kamu sebagai anak Mama. Mama bangga mengandungmu selama sembilan bulan sepuluh hari, Mama bangga melahirkanmu dengan selamat, sehat, dan nggak kurang satu apa pun, membawamu ke dunia penuh warna-warni. Mama bangga, Reisha."

Aku terisak.

"Tolong, jangan bicara seperti tadi dan jangan pernah lagi berpikir untuk pergi dari Mama. Kamu anak yang berharga untuk Mama. Kebahagiaan Mama," kata Mama, menangis lagi.

"Mama ...."

"Melihatmu berdarah-darah, membuat Mama hampir mati. Hancur hati Mama, melihat Reisha seperti itu," kata Mama, mengelus rambutku sayang.

"Mama ...."

Kudengar Mama menghela napas panjang sebelum berucap, "Tak apa kemarin Reisha gagal, tak apa merasa sedih, marah, dan kecewa, tak apa merasa semuanya nggak adil, semuanya buntu, semuanya nggak ada yang benar. Itu manusiawi, Reisha. Itu menandakan Reisha bukan bebatuan."

Mama melepas pelukannya, menghapus air mataku, dan membingkai wajahku dengan kedua tangannya. "Dunia belum berakhir, meski Reisha gagal satu kali. Dunia Reisha masih panjang, masih luas. Ada Mama, Papa, dan Mas Yudha yang akan selalu mendukung Reisha."

Aku diam, menikmati tangisku sendiri.

"Reisha nggak perlu khawatir, nggak perlu takut. Mama akan selalu ada buat Reisha. Pelan-pelan kita melewati semua ini bersama-sama," kata Mama lembut.

Aku masih diam sambil menangis. Mama kembali memelukku, mengelus-elus punggungku. Hangat pelukannya, membuat rasa aman dan nyaman menjalar ke seluruh tubuh.

"Apa aku bisa melewatinya, Ma?" tanyaku kemudian dengan perasaan lelah.

"Reisha pasti bisa. Reisha harus berani melewati semua ini," jawab Mama penuh keyakinan.

Aku tidak berkomentar. Aku belum merasa yakin.

Mama melepas pelukannya, menatapku lembut. "Kegagalan itu lumrah terjadi. Semua orang pernah mengalaminya, Reisha. Jadikan kegagalan itu sebagai pelajaran. Mama juga pernah gagal. Gagal masuk universitas yang udah Mama idamkan terus pernah nggak lulus skripsi."

"Apa yang Mama lakukan?" tanyaku lirih.

"Mencoba lagi," jawab Mama.

"Mama nggak malu?" tanyaku lagi.

Alih-alih menjawab, Mama malah balas bertanya, "Kenapa harus malu?"

Aku tidak menjawab.

Mama menghela napas dan mengembuskannya perlahan. "Memang ada rasa malu, tetapi Mama nggak mau lebih membuat sedih orang-orang terdekat Mama yang terus memberikan semangat dan dukungan."

"Aku malu, Ma. Aku malu sama Mama, Papa, dan Mas Yudha. Aku malu sama temen-temen. Aku malu sama semua orang. Mereka akan mengolokku, mengkritik Mama dan Papa sebagai orang tua yang nggak becus," kataku, menatap Mama dengan pandangan kabur karena air mata.

"Sudah, Reisha, jangan menangis. Sudah," kata Mama, mengusap air mataku yang membasahi pipi.

"Rasanya aku ingin ma--"

"Jangan diteruskan!" potong Mama tegas. "Mama nggak akan meninggalkan Reisha. Begitu juga Reisha yang nggak akan meninggalkan Mama. Mama akan selalu ada buat Reisha. Reisha hanya perlu memilih bagaimana mau bersikap dalam menghadapi kegagalan. Apakah terus terpuruk dalam kegagalan atau mulai berdiri tegak untuk menggapai kesuksesan?"

Aku mencoba meresapi kata-kata Mama, meski sulit tercerna otak yang mengalami stres.

"Tapi dorongan untuk mengakhiri semuanya selalu menghantui, Ma. Apa Reisha gila?" tanyaku pada akhirnya.

Mama menggenggam kedua tanganku. "Kita konsultasi sama dokter yang ahli dalam bidangnya, ya? Reisha setuju, 'kan?"

Aku mengangguk. Mama memelukku lagi dan aku balas memeluknya.

"Mama sayang sama Reisha. Mama cinta sama Reisha. Jangan coba-coba lagi tinggalin Mama," kata Mama tercekat.

"Reisha juga sayang sama Mama. Cinta sama Mama," balasku, membenamkan wajah di leher Mama.

Mama mengangguk, seakan-akan percaya dengan perkataanku.

"Maafin Reisha ya, Ma, udah buat Mama kesusahan. Reisha janji nggak akan begini lagi. Bantuin Reisha ya, Ma. Tolongin Reisha ya, Ma, Reisha mau hidup," kataku mengakhiri percakapan hari ini.

"Iya, Nak," jawab Mama, mengelus-elus punggungku lembut. "Reisha, semangat!"

Aku semakin membenamkan wajahku. Aku bahagia memiliki orang yang kupeluk saat ini. Apa jadinya aku kalau tak mempunyai Mama sehebat ini? Aku tak bisa membayangkannya karena yang pasti hasilnya tidak ada yang bagus.

Mungkin untuk sebagian orang tindakanku ini dibilang lebay. Mereka menganggap masalahku terlalu sepele dan terlalu melebih-lebihkan. Aku tahu. Namun, percayalah setiap orang memiliki kadar menahan gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang berbeda-beda. Tidak bisa dipukul rata.

Aku tahu perbuatanku salah. Aku tahu harusnya kuat dan tidak cengeng. Aku tahu harusnya tidak lemah dan menyerah. Aku tahu harusnya lebih bersyukur lagi dan lebih dekat dengan Tuhan.

Aku tahu.

Untuk itu, aku akan mencoba.

Aku meyakini benar kata Mama yang mengatakan, dunia belum berakhir walaupun aku tidak lulus ujian nasional.

Kegagalan ini hanya sementara tanpa harus mengakhiri hidup. Aku masih berharga untuk Mama. Aku masih memiliki peran yang baik. Aku tidak boleh menyerah lagi. Aku harus bangkit meski sulit karena bisa jadi kegagalan dalam hidup mungkin terjadi lagi di masa datang. Pada saat itu, kuharap sudah lebih siap menghadapinya.

TAMAT


Komentar